Sebenarnya, tifus tdk tergolong kondisi yang sering terjadi pada anak. Namun demikian, kondisi ini sering sekali didiagnosis (“gejala tifus”/verdacht typhus”).  Padahal seharusnya untuk mendiagnosa suatu penyakit harus jelas dan tegas : TIFUS atau BUKAN. 
Bagaimana dan kapan kita menegakkan diagnosis tifus? 
v  Curigai bila ANAK demam > 7 hari.  Mengapa anak, bukan bayi ? Karena tifus ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sementara bayi masih mengkonsumsi ASI, susu formula, makanan rumah. 
v  Diagnosis: pemeriksaan laboratorium biakan empedu (GAL CULTURE) bukan pemeriksaan widal. Di negara endemis seperti Indonesia, pemeriksaan widal hampir pasti akan positif tetapi tidak otomatis menyatakan yang bersangkutan sedang menderita infeksi tifus. 
v
v  Be critical !
TBC
Kondisi serupa yang juga sering salah diagnosa adalah TBC. Angka kejadian infeksi TBC di Indonesia memang tinggi, tetapi itu bukan berarti – sedikit-sedikit TBC. Anak yang kurus, yang kurang nafsu makan, anak yang batuk-batuk, sering dicap “ada vlek” di paru2nya. Padahal mendiagnosis TB tidak sesederhana ini.  
Di lain pihak, kalau memang anak kita TBC, perlu diterapi dengan benar agar kuman TBC benar-benar bisa dieradikasi dari tubuh kita. Yang sering terjadi: 
v  Anak mendapat obat TBC tanpa dasar diagnosis yang jelas. 
v  Obat TBC tersebut tidak diberikan dengan benar (jenis obat, jumlah obat, dosis, lama pemberian).
Selalu mencari second opinion ! Karena mendiagnosis TBC tidak mudah. Dan sekali anak didiagnosis TBC - konsekuensinya banyak – harus mengkonsumsi obat-obatan untuk jangka waktu panjang.  Padahal obat-obatan tersebut sangat berat`- berpotensi menimbulkan gangguan hati.
Again, be critical !
 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment