Di dalam Al-Qur`an, Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat,   moralitas tertinggi, dan pola pikir khas orang-orang beriman. Perasaan   takut kepada Allah yang menghunjam di dalam kalbu mereka, keyakinan   mereka yang tak tertandingi dan upaya yang tak pernah goyah untuk   mendapatkan ridha-Nya, kepercayaan yang mereka gantungkan kepada Allah,   seperti juga keterikatan, keteguhan, ketergantungan, dan banyak lagi   kualitas superior serupa, semuanya disuguhkan Al-Qur`an. Lebih jauh, di   dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung kualitas-kualitas moral semacam itu,   seperti keadilan, kasih sayang, rendah hati, sederhana, keteguhan hati,   penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta menghindari ucapan tak   berguna.
   Seiring dengan penyajian rinci tentang orang beriman  model ini,  Al-Qur`an juga bertutur mengenai kehidupan orang-orang  beriman pada  masa dahulu dan bercerita kepada kita bagaimana mereka  berdo’a,  berperilaku, berbicara, baik di kalangan mereka sendiri maupun  dengan  orang-orang lain di luar mereka, dan dalam menanggapi berbagai   peristiwa. Melalui perumpamaan ini, Allah menarik perhatian kita kepada   sikap dan perbuatan yang disenangi-Nya.
   Titik pandang sebuah  masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an  (masyarakat jahiliyah)  terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa  diterima bisa saja  berubah, sesuai dengan tahapan waktu, suasana,  budaya,  peristiwa-peristiwa, dan manusianya sendiri. Akan tetapi,  perilaku dari  mereka yang kokoh berpegang pada ketetapan hukum  Al-Qur`an tetap tak  tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi, waktu,  dan tempat. Seseorang  yang beriman senantiasa tunduk-patuh kepada  perintah dan peringatan  Al-Qur`an. Karena itulah, ia mencerminkan  akhlaq terpuji. 
   Pada  bagian ini, akan kami perlihatkan sejumlah contoh perilaku yang  layak  mendapat penghargaan sesuai penilaian Allah. Akan tetapi, kami  tidak  menguraikan semua kualitas perilaku terpuji dari orang-orang  beriman  yang secara panjang lebar telah terteradalam Al-Qur`an. Kami  hanya  memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih  terselubung  dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam.
 
Konsep Kesucian 
   Allah  menyeru orang-orang beriman supaya membersihkan (menyucikan)  diri  mereka, yang sesuai dengan fitrah jiwa mereka dan sunnah alam.  Kesucian  dianggap sebagai satu bentuk lain dari ibadah orang beriman  dan, dengan  begitu, merupakan satu sumber kelapangan dan kesenangan  yang besar bagi  mereka sendiri. Di dalam banyak ayat, Allah  memerintahkan orang beriman  agar memperhatikan kesucian jiwa dan raga.  Nabi kita saw. juga  menekankan pentingnya memelihara kesucian, 
   "Kebersihan  adalah sebagian dari iman." (HR Muslim) 
   Di bawah ini ada  sejumlah rincian berkaitan dengan kebersihan
1.  Kesucian Jiwa.
   Pengertian qur`ani tentang kesucian berbeda  makna dengan yang  dipahami oleh masyarakat awam. Menurut Al-Qur`an, suci  adalah keadaan  yang dialami dalam jiwa seseorang. Demikianlah, kesucian  berarti  seseorang telah sama sekali membersihkan dirinya dan  nilai-nilai moral  masyarakatnya, bentuk pola pikirnya, dan gaya hidup  yang bertentangan  dengan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an  menganugerahkan ketenangan  jiwa kepada orang-orang beriman. 
   Tahap  awal dari keadaan suci ini berwujud dalam pemikiran. Tak  diragukan  lagi, ini merupakan satu kualitas terpenting. Kesucian jiwa  yang dialami  manusia tersebut akan terpancar dalam segala aspek  kehidupan. Dengan  demikian, moral terpuji orang tersebut akan nyata  bagi siapa saja.
Manusia  yang berjiwa suci akan menjauhkan pikirannya dari segala bentuk   kebatilan. Mereka tidak pernah berniat menyakiti, cemburu, kejam, dan   mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan tercela  yang  diserap dan ditampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep  moral  Al-Qur`an. Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, karena  mereka  merindukan moral terpuji. Inilah sebabnya, terlepas dari  penampilan  ragawi, orang-orang beriman pun menaruh perhatian besar pada  penyucian  jiwa mereka-dengan cara menjauhi semua keburukan yang muncul  dari  kelalaian-dan mengajak orang lain untuk mengikuti hal yang  serupa. 
2. Kesucian Ragawi. 
   Di dunia ini,  orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan  yang mirip dengan  surga. Di dunia ini, mereka ingin menikmati segala  sesuatu yang akan  Allah anugerahkan kepada mereka di surga. Sebagaimana  kita pahami dari  Al-Qur`an, kesucian ragawi merupakan salah satu dari  kualitas-kualitas  yang dimiliki manusia surga. Ayat yang berbunyi,                 "… anak anak muda untuk (melayani) mereka, seakan-akan  mereka                itu mutiara yang tersimpan," (ath-Thuur   [52]: 24) sudah otomatis menjelaskan hal itu. Sebagai tambahan, Allah   menginformasikan kepada kita dalam banyak ayat lainnya, bahwa di surga   tersedia, "pasangan-pasangan                hidup  yang senantiasa suci sempurna." (al-Baqarah [2]: 25)               
   Di ayat lain, Allah menekankan perhatian pada kesucian raga  adalah                yang merujuk pada Nabi Yahya a.s., "Kami anugerahkan                kepadanya… kesucian  dari Kami." (Maryam [19]: 12-13) 
3.  Pakaian yang Bersih.
   Al-Qur`an juga merujuk pada pentingnya  pakaian bersih, seperti                dalam ayat,  "Dan pakaianmu sucikanlah, dan                perbuatan dosa (menyembah  berhala) tinggalkanlah." (al-Muddatstsir                [74]:  4-5) 
   Lebih jauh, kebersihan ragawi adalah hal yang penting,  sebab hal ini  menunjukkan penghargaan seseorang kepada orang lain.  Sesungguhnya,  penghormatan pada orang lain mensyaratkan pemeliharaan  tampilan fisik  seseorang. Orang-orang beriman bukan sekadar menghindari  kotoran, tapi  juga memberikan kesan rapi yang tak mencolok yang  memperjelas besarnya  rasa hormat mereka kepada orang lain. Salah satu  cara untuk menunjukkan  rasa hormat adalah memakai pakaian bersih.  Melalui Al-Qur`an, Allah  memerintahkan kepada kita, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah   setiap (memasuki) masjid…." (al-A’raaf [7]: 31) Dalam pemahaman ini, menjaga kebersihan raga dan kerapian serta mengupayakan yang terbaik dalam berbagai hal, merupakan kualitas yang disenangi Allah. Kualitas-kualitas semacam ini tidak diutamakan oleh orang-orang yang bodoh. Nabi kita saw. juga mempertegas pengesahan Allah akan kualitas-kualitas seperti itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits, "Seseorang bertanya, ‘Bagaimana tentang seseorang yang suka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah-indah?’ Rasulullah menjawab, ‘Semua ciptaan Allah adalah indah dan Dia menyukai keindahan.’" (HR Muslim)
   Kita harus memperhatikan hal berikut  ini. Umumnya, setiap orang  cenderung untuk berupaya sebaik mungkin  memberikan kesan terhadap  sesuatu yang mereka anggap penting pada setiap  pertemuan dengan orang  lain. Demikian halnya orang beriman, sesuai  moralitas yang dikehendaki  Al-Qur`an, mereka tampak sangat mementingkan  kerapian dengan segenap  ketelitiannya dengan tujuan untuk menyenangkan  Allah. 
   Orang beriman memang layak mendapatkan surga dan, di  dunia ini,  mereka terikat untuk selalu berupaya menjaga diri dan  lingkungannya  agar tetap bersih, sehingga mereka bisa mendapatkan  kesucian dan  keindahan surga di dunia ini. 
4.  Memelihara Kebersihan Lingkungan. 
   Umat Islam sangat berhati-hati  dalam menjaga lingkungan terdekat  mereka agar tetap bersih. Satu contoh  tentang itu disebutkan dalam  surah al-Hajj. Allah memerintahkan Nabi  Ibrahim a.s. untuk memelihara  Ka’bah agar tetap bersih untuk orang-orang  beriman yang berdo’a di  sekitar tempat itu, "Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat   kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu   menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi   orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang   yang ruku dan sujud.’" (al-Hajj [22]: 26)    Sebagaimana  dikehendaki ayat tersebut, kebersihan lingkungan tempat  suci yang  sejenis (mushala, masjid, majelis taklim, Ed.) harus  dipelihara,  terutama sekali bagi orang-orang beriman lainnya yang  hendak menunaikan  ibadah untuk mendapatkan ridha Allah. Karena itu,  semua orang beriman  yang mengikuti langkah Ibrahim a.s. harus menjaga  tempat tinggal mereka  agar tetap bersih dan rapi, sebab hal itu dapat  menyenangkan hati  mereka. 
   Konsep qur`ani tentang kebersihan jelas berbeda dengan  pemahaman  orang-orang yang tidak beriman. Allah memerintahkan  orang-orang beriman  supaya "bersih dan suci" baik lahir maupun batin.  Dengan kata lain,  hal ini bukanlah bersih dalam pengertian klasik atau  kuno, melainkan  sebuah upaya berkesinambungan. 
   Menurut kaidah  ini, penggambaran Al-Qur`an tentang kehidupan di  surga juga bersifat  perintah. Lingkungan surga sudah dibersihkan dari  segala bentuk kotoran  yang dapat kita lihat di sekitar kita. Surga  adalah sebuah tempat yang  penuh dengan kebahagiaan, dengan kebersihan  yang sempurna. Tiap detail  yang terwujud di sana berada dalam  keserasian yang sempurna dengan  setiap detail lainnya. Dalam cahaya  ilustrasi seperti ini, insan beriman  senantiasa harus berupaya menjaga  lingkungan mereka agar bersih dan  mengalihkan kenangan mereka pada  tempat-tempat yang mengingatkan mereka  kepada surga. 
5. Memakan Makanan yang Bersih.
   Mengonsumsi pangan bersih adalah satu perintah Ilahiah yang harus   selalu ada dalam kalbu semua makhluk beriman, "Makanlah dari makanan  yang baik-baik yang telah  Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka  menganiaya Kami, melainkan  mereka menganiaya diri mereka sendiri."  (al-Baqarah [2]: 57)"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan  baik dan apa yang  terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti  langkah-langkah setan;  karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang  nyata bagimu."  (al-Baqarah [2]: 168) 
   Sebagai tambahan, Allah  memasukkan dalam hitungan kelompok As-habul  Kahfi untuk menunjukkan  bahwa orang-orang beriman cenderung kepada  makanan bersih. Sebagaimana  dapat kita baca,
"…Seorang di antara  mereka berkata, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa  lama kamu sudah  berada di sini. Utuslah salah seorang dari kamu ke  kota dengan uang  perakmu ini, agar dia bisa melihat makanan mana yang  lebih baik, dan  membawakan makanan itu untukmu…." (al-Kahfi [18]: 19) 
   Kita akan  kembali ke topik ini pada bab lain dalam judul, "Makanan Bermanfaat  yang Disebut di Dalam Al-Qur`an". 
Berlatih,  Berenang, dan Air Minum
   Perilaku lain yang disebutkan dalam  Al-Qur`an tercantum di dalam  ayat-ayat yang berkaitan dengan ungkapan  Nabi Ayyub a.s., "Dan ingatlah  akan hamba  Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, ‘Sesungguhnya, aku  diganggu setan  dengan kepayahan dan siksaan.’(Allah berfirman)  ‘Hentakkanlah kakimu,  inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk  minum.’" (Shaad [38]: 41-42)   Dalam menanggapi keluhan kesulitan dan penderitaan, Allah  menasihati  Nabi Ayyub a.s. supaya "menghentakkan kaki". Nasihat itu  dapat  dianggap satu pertanda yang berkenaan dengan manfaat kegiatan  olahraga  dan berlatih. 
    Berlatih, khususnya  melatih otot-otot panjang seperti terdapat pada  otot-otot kaki (sebagai  contoh: gerakan-gerakan isometrik), melancarkan  aliran darah dan, karena  itu, meningkatkan volume oksigen untuk masuk  ke sel-sel tubuh. Selain  itu, berlatih mengurangi elemen-elemen racun  dari tubuh yang dapat  melenyapkan penat, memberikan rasa lega dan  kesegaran, dan memberikan kemampuan pada tubuh untuk memperbesar resistensi terhadap  mikroba. Latihan teratur juga menjaga urat-urat darah tetap bersih dan  lebar, yang, dengan kondisi demikian, dapat mencegah:  1)penggumpalan  pada urat-urat dan menurunkan risiko penyakit koroner  arteri dan 2)  mengurangi risiko diabetes dengan mempertahankan kadar  gula darah pada  taraf tertentu dan meningkatkan jumlah kolesterol yang  aman di dalam  liver. Di samping itu, menghentakkan kaki ke tanah  merupakan cara  paling efektif untuk 3) melepaskan arus listrik statis  yang sudah  menumpuk di dalam tubuh, yang kerap mengakibatkan badan kaku.  
   Sebagai tambahan, sebagaimana disebutkan ayat di atas, mandi  diakui  merupakan metode paling ampuh untuk menghilangkan kebekuan arus  listrik  di tubuh. Ia juga melenyapkan ketegangan dan kerumitan pikiran,  serta  membersihkan badan. Karena itu, mandi merupakan satu penyembuhan   efektif untuk stres dan banyak ketidakteraturan (gangguan) fungsi fisik   dan kejiwaan. 
   Ayat tadi juga menarik perhatian kita pada  manfaat-manfaat tak  terhingga dari air minum. Hampir setiap fungsi  jaringan tubuh dipantau  dan dikendalikan agar menyerap air secara  efisien melalui jalur  pendistribusian. Fungsi-fungsi dari banyak organ  tubuh (misalnya otak,  kelenjar peluh, perut, usus, ginjal, dan kulit)  sangat bergantung pada  kecukupan distribusi air. Memastikan bahwa tubuh  mendapat jatah air  yang cukup tidak saja membuat tubuh berfungsi lebih  berdaya guna,  bahkan mungkin menolong seseorang terhindar dari beragam  masalah  kesehatan. Peningkatan taraf konsumsi air telah terbukti  membantu  mengurangi berbagai keluhan sakit kepala (migren, kolesterol  darah  tinggi, sakit saluran rheumatoid penyebab rematik, dan tekanan  darah  tinggi. Sebagai tambahan pada beragam manfaat tersebut, air juga   menghilangkan letih dan kantuk, sebab serapan air yang teratur dan   mencukupi membantu menghilangkan anasir racun dari tubuh. 
   Menaati  semua anjuran ini, yang semuanya penting dan vital bagi  kesehatan raga  dan mental kita, insya Allah akan membuahkan hasil  terbaik. 
Berjalan Kaki 
   Orang-orang congkak mengira  sikap angkuh bisa menimbulkan rasa kagum  manusia lain. Dan, dengan  begitu, secara berlebih-lebihan, mereka  memamerkan gaya berjalan,  berbicara, dan memandang dengan penuh sikap  sombong. Tanda-tanda  arogansi semacam itu tampak nyata dari gaya  berjalan seseorang. 
   Ayat-ayat  yang merujuk kepada nasihat bijak Luqman kepada putra  beliau  mengungkapkan secara gamblang keangkuhan sikap dan penampilan  seseorang, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari  manusia (karena  sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi  dengan angkuh.  Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang  sombong dan  membanggakan diri." (Luqman [31]: 18) Dalam ayat lain, orang-orang beriman dianjurkan untuk tidak berjalan dengan sikap angkuh, "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." (al-Israa` [17]: 37)
   Dengan ayat-ayat ini, Allah  memberitahukan kepada kita bahwa Dia  tidak menyukai mereka yang sombong  dan memperingatkan kita agar  menjauhi sikap seperti itu. Kita harus  senantiasa ingat bahwa  kesombongan setan, yang tampak dari tuntutannya  bahwa dia lebih tinggi  dari makhluk-makhluk lainnya ciptaan Allah, yang  menyebabkan dia  tersingkir dari hadapan Allah. Orang beriman yang sadar  akan keburukan  kualitas-kualitas seperti ini tentu saja menjauhi semua  itu. 
   Tak seorang pun yang senang berada di sekitar orang  sombong. Siapa  pula yang merasa nikmat berdampingan dengan orang-orang  semacam itu?  Umumnya setiap orang mengetahui bahwa orang-orang angkuh  dan merasa  diri lebih tinggi derajatnya, dalam kenyataannya, tak lebih  dari  manusia biasa yang penuh dengan beragam ketidaksempurnaan dan   kelemahan-kelemahan. Akibatnya, orang sombong, meskipun menderita oleh   keangkuhan dirinya sendiri, takkan pernah mencapai tujuan untuk   menikmati prestise di kalangan manusia lain di sekitarnya dan sering   tercekam dalam kehinaan. 
   Al-Qur`an juga menekankan perhatian  kita kepada kenyataan bahwa  orang-orang beriman harus memiliki sikap  berjalan yang tidak  berlebih-lebihan atau mengada-ada, sebagaimana yang  disebutkan dalam  ayat,                "Dan  sederhanalah kamu dalam berjalan…."  (Luqman [31]: 19) Di dalam  mematuhi perintah Allah, manusia yang  sederhana akan berjalan dengan  sikap sederhana, dan dengan demikian  meraih kemuliaan dalam pandangan  Allah dan orang-orang beriman  seluruhnya. 
Intonasi Suara 
   Tinggi-rendahnya  (intonasi) suara adalah bagian penting dari  ungkapan perasaan positif  seseorang. Bagaimana seorang menggunakan  intonasi mencerminkan kualitas  orang bersangkutan. Bahkan, suara merdu  sekalipun dapat menyakiti jika  diartikulasikan dengan tidak sepatutnya.  Allah menasihati  hamba-hamba-Nya melalui ucapan Luqman, "…   lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara   keledai." (Luqman [31]: 19)   Seseorang yang bicara dalam suara  keras atau menghardik orang lain  tidak akan memberi kesan menyenangkan  pada pihak lain. Di samping itu,  pada kebanyakan kasus, hal seperti ini  terasa tak tertahankan, seperti  mendengarkan raungan keledai. 
   Dengan  kata lain, cara orang bicara adalah hal yang penting. Suara  orang yang  sedang dirundung berang mungkin terdengar tak mengenakkan,  meskipun  suara lelaki atau perempuan itu, dalam suasana normal, mungkin  terasa  sedap ditelinga. Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan  lantunan suara  tak sedap bisa saja terdengar lebih merdu kalau  mengikuti nilai-nilai  terpuji dari Al-Qur`an. Suara merdu, di pihak  lain, mungkin saja  terkesan menyerang dan tak tertahankan, jika orang  itu angkuh dan  berkesan menyakitkan. Karena suara orang tersebut, yang  merupakan  pantulan sifat negatif diri, baik lelaki atau perempuan,  cenderung  berkeluh kesah dan menghasut. 
   Sebagaimana halnya suara, mereka  yang berakhlaq mulia selalu  memiliki sifat rendah hati, santun,  bersahaja, damai, dan konstruktif.  Dengan sudut pandang positif dalam  kehidupan, mereka selalu ceria,  bersemangat, cerah, dan gembira. Sifat  sempurna ini, yang timbul dari  kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti  dijelaskan dalam Al-Qur`an,  termanifestasikan dalam lantun suara  seseorang.
Luhur  Budi 
   Al-Qur`an menginformasikan kepada kita bahwa manusia  beriman pada  kenyataannya adalah orang-orang yang sangat bermurah hati.  Akan tetapi,  konsep Al-Qur`an tentang akhlaq mulia agak berbeda dari  yang secara  umum ditemukan dalam masyarakat. Manusia mewarisi sifat  santun dari  keluarga mereka atau menyerapnya dari lingkungan masyarakat  sekitar.  Akan tetepi, pengertian ini berbeda dari satu strata ke strata  lain.  Wujud keluhuran budi yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau   bagaimanapun, melebihi dan di atas nilai dari pemahaman mana pun, karena   ia tidak akan pernah berubah, baik oleh keadaan maupun manusia. Mereka   yang menyerap unsur akhlaq mulia, sebagaimana pandangan Al-Qur`an,   memandang setiap manusia sebagai hamba-hamba Allah, dan karena itu   memperlakukan mereka dengan segala kebaikan, walaupun tabiat mereka   mungkin saja tidak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi   penyimpangan dan tingkah laku yang tidak patut, teguh dalam pendirian,   bahwa berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih sayang Allah,   sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadits, "Allah  itu baik dan  menyukai kebaikan dalam segala hal." (HR Bukhari dan  Muslim) Sebagaimana ditunjukkan ayat berikut, Allah mendorong manusia supaya berbuat baik dan santun kepada orang lain, "Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari bani Israel, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kalian, dan kamu selalu berpaling." (al-Baqarah [2]:83)
Al-Qur`an menghendaki kebaikan kemutlakan. Dengan kata lain, manusia beriman tidak boleh berpaling dari perilaku baik, sekalipun kondisi lingkungannya tampak menginginkan keburukan dan ketidaksenangan. Kelemahan fisik, kehabisan tenaga, atau kesukaran tidak akan pernah menghalangi mereka dari keajekan mereka dalam kebaikan. Sementara itu, tak peduli mereka kaya atau miskin, menikmati kedudukan gemerlap atawa jadi orang dalam bui, manusia beriman memperlakukan setiap orang dengan baik, karena mereka sadar bahwa Nabi kita saw. menegaskan pentingnya tiap orang beriman untuk berbuat demikian, sebagaimana tersebut dalam hadits, "Manakala kebaikan ditambahkan pada sesuatu, itu akan memperindahnya; apabila kebaikan ditarik keluar dari sesuatu, itu akan meninggalkan cacat."(HR Muslim). Moralitas agung ini diperkuat dalam ayat berikut, sebagaimana sudah diutarakan dalam bagian sebelumnya, "… berbuat baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah kata kata yang baik kepada manusia…." (al-Baqarah [2]: 83)
Orang-orang beriman juga harus sangat berhati-hati terhadap cara mereka memperlakukan orang tua mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan supaya mereka diperlakukan dengan segala kebaikan, "Dan Tuhanmu telah perintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (al-Israa` [17]: 23)
Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan pentingnya menghormati orang tua. Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan dari keluarganya, untuk waktu lama, karena saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke dalam sebuah sumur. Tak lama kemudian, beliau ditemukan oleh satu rombongan pedagang yang membawanya ke Mesir dan menjualnya sebagai budak. Kemudian, karena dakwaan palsu, dia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan dibebaskan, hanya berkat pertolongan Allah, untuk diangkat menjadi bendahara kerajaan Mesir. Kemudian, setelah semua ini, beliau memindahkan seluruh keluarganya dari Madyan ke Mesir dan menyambut mereka seperti terlukis dalam ayat berikut, "Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya dan dia berkata, ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ Dan dia naikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana…." (Yusuf [12]: 99-100)
   Dengan demikian, kita  mengetahui bahwa Nabi Yusuf a.s., terlepas  dari status terhormatnya,  berperilaku yang luar biasa santun kepada  kedua orang tuanya. Mengangkat  keduanya ke atas singgasana, menandakan  hormat dan cintanya kepada  keduanya, dan juga menunjukkan akhlaqnya nan  mulia.
Ramah Tamah 
   Bagi umat  beriman, yang mengikuti moralitas Al-Qur`an, memuliakan  tamu mereka  merupakan wujud kepatuhan pada salah satu perintah Allah  serta satu  kesempatan untuk mengaplikasikan moralitas yang tinggi.  Sebab itulah,  hamba-hamba beriman menyambut tamu-tamu mereka dengan  penuh takzim. 
   Di dalam masyarakat yang tidak beriman, orang umumnya menganggap   tamu sebagai satu beban, baik dari sudut material maupun spiritual,   karena mereka tidak dapat melihat kejadian-kejadian semacam itu sebagai   kesempatan untuk mendapatkan kesenangan Allah dan memperagakan akhlaq   mulia. Sebaliknya, orang yang tidak beriman beranggapan bahwa santun dan   sopan pada tamu tak lebih dari merupakan keharusan kemasyarakatan.   Hanya karena mengharapkan suatu imbalan keberuntunganlah yang menggugah   mereka untuk ramah dan santun pada tamu. 
   Al-Qur`an secara  khusus menekankan perhatian agar manusia beriman  menunjukkan akhlaq  mulia kepada tamu. Sebelum yang lain-lainnya,  manusia beriman  menyuguhkan hormat, cinta, damai dan santun kepada  setiap tamu. Sambutan  biasanya didasarkan pada mempersiapkan tempat dan  kebutuhan-kebutuhan  lainnya, yang tanpa ungkapan hormat, cinta, dan  damai, tidak bakal  menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat berikut, Allah  mempertegas betapa  Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun selain  itu, 
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan,  maka balaslah  penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah  dengan yang  serupa. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu."  (an-Nisaa`  [4]: 86)
   Sebagaimana tersurat dalam ayat di atas,  moralitas qur`ani mendorong  manusia beriman agar berlomba-lomba dalam  amal kebaikan, walau sekadar  perbuatan biasa seperti menyambut tamu,  sebagai satu sikap yang sudah  dicontohkan di sini. 
   Al-Qur`an  juga menginginkan kita memperlakukan tamu agar mereka  merasa nyaman  dengan menanyakan apa saja keperluan mereka, dan  memenuhinya, sebelum  sang tamu mengutarakannya. Cara Nabi Ibrahim a.s.  melayani tamu beliau  merupakan satu contoh bagus tentang ini dan  merupakan peragaan satu  wujud penting dari keramahtamahan, "Sudahkah   sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan?   Ingatlah ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan ‘Salamun!’;   Ibrahim menjawab ’salaman’, kalian adalah orang-orang tidak dikenal.   Maka dia pergi secara diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya   daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkan kepada mereka   (tetapi mereka tidak mau makan)." (adz-Dzaariyaat [51]: 24-27)   Satu  hal penting dari ayat-ayat ini yang menarik perhatian kita:  akan lebih  baik kita lebih dulu menanyakan keperluan tamu, laki atau  perempuan,  sebelum dia memintanya, karena tamu yang sopan biasanya  menunda-nunda  mengemukakan keperluannya. Di luar dari pemikirannya,  tamu semacam ini  bahkan mencoba menolak apa yang mungkin ditawarkan  tuan/nyonya rumah.  Bila ditanya apakah dia memerlukan sesuatu, sang  tamu mungkin akan  menjawab "tidak" dan berterima kasih atas tawaran  tersebut. Untuk alasan  seperti itu, moral qur`ani akan memikirkan sejak  awal tentang apa saja  yang mungkin diperlukan tamunya. 
Perilaku lain yang disukai  berkenaan dengan hal ini adalah menawarkan  bantuan tanpa menunda-nunda.  Di atas segalanya, perilaku seperti ini  mengedepankan rasa senang tuan  rumah bila tamu merasa bahagia berada di  sana. Sebagaimana disebutkan  ayat tadi, menawarkan sesuatu "dengan  segera" mengungkap kemauan tulus  tuan/nyonya rumah untuk melayani  tamunya. 
   Tingkah laku mulia  lainnya yang dapat dipetik dari ayat-ayat tadi  adalah walaupun Nabi  Ibrahim a.s. belum pernah kedatangan tamu  sebelumnya, dia berupaya keras  untuk melayani mereka sebaik mungkin dan  bersegera menyuguhkan daging  bakar "anak sapi gemuk", sejenis daging  yang terkenal sangat sedap  rasanya, sehat dan bergizi. Dus, bisa kita  tambahkan bahwa selain dari  mencukupi layanan-layanan yang telah  disebutkan, tuan/nyonya rumah harus  pula mempersiapkan dan menawarkan  makanan kualitas prima, enak, dan  segar. 
   Di luar semua ini, Allah juga menekankan perhatian akan  daging yang hendak disajikan untuk tamu.
 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment