Ketika Malaikat dan Iblis Menjadi bosan
Part 2
by Ariearmend
Mata Lukman sedikit tertutup, totot-otot matanya beristirahat untuk sementara waktu.. peluh mengalir dengan deras melalui dahi dan tungkuknya. Ingatannya manari-nari acak, dan memilih serta memilah kilatan memori mana yang ingin ditampilkan diingat pada saat itu. Bergerak secara kontemporer dan bebas, lambat laun keteracakan tersebut mulai melambat dan mulai menemukan bentuknya seiring dengan detak jantungnya yang mulai kembali normal. Pikirannya tenang, dan potongan ingatan tersebut mulai muncul ke permukaan.
Dia ingat gerbang itu, gerbang masuk pondok pesantren Al-Kalam disebuah desa di Jawa Tengah yang cukup jauh dari tempat tinggalnya di Jakarta. Dan bahkan meski ayahnya telah berulang kali bercerita untuk memasukannya ke pondok pesantren ini, hari itu dia tidak pernah duga akan datang juga. Hari dimana dia meninggalkan semua kehidupan yang dikenalnya, semua temannya, dan semua hari-hari rutinnya. Pada saat itu bila ia mengingat kembali, keinginan ayahnya lah yang membuatnya berada disini pada saat ini. Dan kalau boleh sedikit jujur, tingkat perekonomian keluarganya bisa dibilang mapan, dan kalau ayahnya mau menyekolahkan ke sekolah swasta mahal di Jakarta, itu bukan menjadi sebuah masalah. Akan tetapi pemikiran ayahnya yang sangat pragmatis membuatnya menjalani banyak warna dalam mengecap pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Masa taman kanak-kanaknya di habiskan disebuah TK Islam yang tergolong mahal pada saat itu. Akan tetapi setelah TK, ayah malah memasukan ke sekolah dasar negeri yang SPP nya sekali pun tidak bayar sama sekali, ketika teman-teman semasa TK ku melanjutkan ke sekolah swasta yang katanya berkwalitas, aku menghabiskan masa sekolah dasarku seperti kebanyakan anak kecil lainnya. Akan tetapi waktu kosong setelah sekolah aku habiskan untuk melakukan pelajaran-pelajaran lain diluar sekolah, seperti banyak nya les-les bahasa yang harus aku jalani, serta les keterampilan musik selain les bimbingan belajar. Dan banyak dari teman les ku itu berasal dari sekolah swasta mahal di sekitar tempat tinggal ku. Dan baru jauh hari setelah aku mengerti banyak hal, ternyata ayah hanya ingin aku mengalami banyak hal dalam proses pendidikan, tidak monoton dan membosankan. Selain memberikan banyak pemahaman dan pengertian lain yang tidak dapat dijelaskan apabila aku tidak menjalaninya sendiri. Seperti memahami banyak karakter manusia dari lapis yang berbeda, sehingga hal itu mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi ku nantinya selain juga mendorong perkembangan psikologi yang jauh lebih luas serta kepekaan terhadap sosial.
Selepas sekolah dasar, ayah memasukan aku ke Al-Azhar, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ku, sedangkan banyak dari teman-teman SD ku yang melanjutkan ke SMP negeri seperti kebanyakan orang. Dengan biaya masuk yang tidak bisa dibilang murah, dan biaya-biaya lainya yang serba wah setiap bulannya, aku menyelesaikan masa-masa SMP ku disana. Dengan beberapa kenalan muka lama semasa TK yang juga melanjutkan sekolah disana.
Ayahku mungkin sedikit ajaib, dengan kondisi yang bisa dibilang mampu pada saat itu, dia lebih memilih berkeliling dengan motor sedangkan teman-teman ku yang lain selalu diantar jemput dengan mobil. Meskipun aku tau, dirumah kita juga punya mobil yang mungkin bisa dibilang lebih bagus dari pada teman-teman ku ini. Ayah lebih senang naik motor, “lebih praktis..” jawabnya selalu.
Serta ketika teman-teman ku selalu bercerita ketika libur sekolah mereka selalu jalan-jalan ke Singapura atau Hongkong untuk melihat Disney Land dan lain sebagainya, sedangkan aku ketika ayah sedang mengerjakan proyeknya di Eropa atau Timur Tengah, aku selalu diajak bersama ibu dan aku bisa ijin dari sekolah selama seminggu bahkan pernah sampai dua minggu hanya untuk menemani ayah bekerja. Dan selama itu, tidak pernah sekali pun kita menginap dihotel, karena disetiap negara yang kita kunjungi, ayah selalu memiliki tempat tinggal untuk kita semua. Flat yang tidak bisa dibilang sederhana, yang dibeli oleh ayah dan ibu ditempat-tempat itu. Aku dan Assa adik perempuanku sangat suka sekali apabila kita harus menemani ayah bekerja di luar negeri, karena kita bisa puas main seharian diluar rumah dengan mengajak ibu, selain melatih kemampuan bahasa asing yang selama ini kita pelajari kata ayah, juga bisa melihat banyak hal yang tidak bisa kita temui di Jakarta. Akan tetapi setelah kembali ke Jakarta ayah selalu melarang kami untuk bercerita dan memamerkan hal tersebut ke orang lain, ayah memilih untuk tetap rendah hati dan berlaku praktis.
Dan gerbang masuk pondok pesantren Al-Kalam ini sangat-sangat sederhana, dan bila mengingat semua yang harus aku tinggalkan dan mencoba sesuatu yang benar-benar baru disini, membuat pikiran ku bertabrakan satu sama lain, rasa gugup, malu, takut cemas dan lain sebagainya menyatu dalam remasan jemariku terhadap jemari tangan yang lain selain jantung ku yang berdetak tidak seperti biasanya. Karena meskipun tahu kalau selepas SMP aku akan melanjutkan kesebuah pesantren nantinya, tapi aku tidak pernah berfikir kalau sebuah pesantren akan sangat berbeda seperti ini. Dan perubahan yang harus dihadapi sangatlah besar.
Sepertinya ayah mengetahui kegundahan hatiku. Dengan sangat lembut dia merangkul diriku, dan mencium keningku untuk sekedar menenangkanku. Dengan mobil rental dari Jakarta, ayah mengantarkan ku beserta mama dan Assa. Sekali lagi, penampilan ayah dan mama sangat sederhana. Dengan kemeja yang sangat sederhana dan celana jeans yang sedah bisa dibilang kucel serta mama dengan kemeja terusan yang dipadu dengan kerudung warna pastel membuat kita dapat berbaur dengan mudah pada saat itu. Malah beberapa orang tua calon murid ada yang sangat menor dandanannya.. seperti mau syuting sinetron murahan pikir ku saat itu.
Proses administrasi harus dilakukan oleh orang tua calon murid atau pengantar dilokasi pesantren, disaat-saat menunggu, aku perhatikan orang lalu lalang, aku belum bisa membedakan siapa yang tamu dan siapa yang penghuni pesantren, dikarenakan banyaknya manusia yang ada pada saat itu. Dan kalo boleh jujur, aku lebih memilih pulang. Akan tetapi ada hati kecilku yang lain berusaha menerima semua kenyataan ini. Dan mencoba untuk beradaptasi, serta mulai menikmati setiap detak kehidupannya.
Seorang anak yang menurutnya sebaya dengannya duduk disebahnya, disebuah bangku tunggu panjang yang sudah tidak dapat dibilang baru lagi, dengan lapisan kulit palsu yang mulai mengelupas disana sini. Matanya juga memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, dari raut mukanya dia pun memiliki rasa gusar dan kegelisahan yang sama dengan ku. Hanya saja pada saat itu dia tidak menyadari, bahwa orang disebelahnya sedang memperhatikannya.
Seorang ibu-ibu dengan dandanan yang sangat berlebihan pikir ku saat itu, tanpa sengaja menyenggol bahu kiri ku, dan secara reflex aku juga bergerak ke kiri sehingga menyenggol bahu kiri anak kecil tersebut. Altaf, kemudian aku tahu namanya. Yang menjadi teman baik ku selama menempuh pendidikan di pondok pesantren ini. Altaf sosok anak yang cenderung tenang, dan sangat berbakat. Dia memiliki kecerdasan yang banyak orang tidak menyadarinya. Akan tetapi di awal-awal pertemanan kami, dia lebih banyak menutup diri, kurang ingin menceritakan kehidupan pribadinya, jauh berbeda dengan teman-teman sekelas yang lain, yang seolah-olah selalu ingin didengarkan keluh kesahnya. Sifat ketertutupan Altaf agak mirip dengan ku, itu yang membuat kita dapat cocok satu sama lain. Akan tetapi setelah setahun kita berada di pondok ini, sifat tertutupnya sedikit demi sedikit mulai terbuka.
Mata Lukman sedikit terbuka, perlahan kesadarannya mulai kembali. Tetesan keringat didahinya turun kemata, menyebabkan rasa perih. Perlahan dia berusaha mengusap matanya, akan tetapi tangannya terasa berat untuk digerakan. Sayup perlahan dia mendengar suara-suara dengan bahasa asing yang sangat familiar dikupingnya selama 2 tahun belakangan ini diruang sebelah. Langkah-langkah kaki yang bergerak cepat, serta gesekan suara magazine dengan senjata-senjata yang dimasukan kedalam tempatnya sebelum kemudian semua itu kabur, dan dia kembali kealam bawah sadar.
Sebuah hantaman keras mengembalikan kesadaran ku dengan sangat cepat, selain memberikan rasa sakit yang tiada tara. Rasa asin dibibirku menetes perlahan, kemudian jatuh kepinggiran kemeja lusuh yang aku kenakan. Ingatan akan dimana dan kapan serta apa yang terjadi perlahan dan berangsur pulih. Dalam sakit dan perih yang ku rasakan, tanpa sadar bibir ku nama Nya. Aku pasrahkan segala nasib dan keputusan kini dan nanti ku kepada Rabb ku, Allah semesta alam. Yang memberikan keputusan akan nasib dan takdir seorang manusia.
Sementara di luar bangunan disepanjang Rue Camille Chevillard, tidak ada satu orang pun yang curiga bahwa diarea perumahan yang tenang tersebut, salah satu rumah merupakan markas rahasia Mossad, dengan penyamaran yang sangat sempurna, karena bangunan utama diisi oleh sepasang agen rahasia yang berpura-pura menjadi pasangan suami istri. Akan tetapi dibawah bangunan tersebut merupakan markas yang memiliki fasilitas lengkap dengan ruangan penyimpanan persenjataan taktis yang lengkap, ruang-ruang tahanan dan penyiksaan selain ruang penyentara komputer yang super cepat. Disalah satu ruangan tersebut Lukman ditahan oleh agen-agen Mossad ini. Ingatannya yang baru saja pulih berusaha mengingat kembali apa saja yang telah terjadi sebelum Ia berada disini. Tapi “lagi-lagi sebuah pukulan membentur wajahnya. “Réveiller salope ! “ dengan diiringi hentakan yang sangat keras pada kerah bajunya.. dan sekali lagi sebuah tamparan menghantam mukanya. Dengan berjuta rasa kesakitan dan nyeri diseluruh tubuhnya, kesadarannya kembali pudar sebelum akhirnya benar-benar hilang sama sekali. “Vous n'avez pas besoin de ce genre contre lui“ sebuah suara wanita mengingatkan kepada temannya yang baru saja memberikan bogem mentah bertubi-tubi kepada Lukman. “Dan sekarang dia kembali tidak sadarkan diri..” sambil berjalan perlahan dengan sangat anggun kearah meja konsol yang banyak menyimpan alat-alat penyiksaan diatasnya.
“Aku ingin dia kembali sadar dalam waktu kurang dari sejam, perlakukan dia dengan lebih baik” dengan berjalan kembali kearah tempatnya berdiri sebelumnya, setelah sebelumnya dia membalik-balikan sebuah alat pencabut kuku yang ada diatas meja konsol tadi.
“Oh iya, satu lagi.. perlu kalian ingat, orang ini bukan yang kita incar, jadi kalian tidak perlu menghajarnya terlalu berlebihan..” setelah mengucapkan kalimat terakhirnya tersebut, dia sendiri merasa heran, kenapa dia menaruh rasa khawatir yang begitu besar kepada orang ini. Sesuatu yang tidak pernah dia berikan kepada orang sebelumnya.
Setelah tim forensik selesai memeriksa dan mendata semua yang diperlukan untuk menyelidiki kasus pembunuhan yang terjadi kompleks perumahan Bishan Hills, jenazah Seamus dibawa menuju Changi General Hospital, dalam perjalanan sepasang mata yang tidak pernah lepas mengikuti gerak-gerik tim paramedik dari ketika memasukan jenazah kedalam ambulan hingga ambulan meninggalkan komplek perumahan, tatapan tajam tersebut selalu mengamati kondisi sekitarnya. Dan ketika ambulan tersebut tiba di perempatan jalan Eunos Crescent yang sepi, didaerah kawasan perindustrian dan gudang, sebuah ledakan yang cukup besar dari bawah ambulan tersebut menghempaskan ambulan tersebut tiga meter ke udara, sebelum akhirnya hancur berkeping-keping. Senyum tipis menghiasi wajahnya, perubahan wajah yang tidak dapat dia sembunyikan, dan ekspresi puas akan hasil kerjanya. Setelah memastikan semuanya hancur dari kejauhan, dan tidak ada yang dapat dilacak balik kepada dirinya, dia memutuskan untuk berbaur dengan kesibukan kendaraan lain, menuju PIE (Pan Island Expy / jalan Toll) dan meluncur kearah pusat kota dimana fase selanjutnya untuk menjalankan rencana-rencananya telah tersusun dengan rapih.
“Yah, telah rapih.. sangat rapih” batinnya
“Dan sekarang aku hanya perlu kembali ke Hotel, dan mengemasi semuanya...”
****
to be continue
0 comments:
Post a Comment