Pertanyaannya, apakah terjadi kemandekan bila ada anak gubernur mencalonkan diri jadi bupati? (Kalau mau menyebar angket sendiri, jawab yang tersedia: Ya atau tidak [kalau “tidak”, maka ditambahkan satu poin pertanyaan: “mengapa?”]-Red).
Apakah kemunduran jika ada anak pejabat setingkat provinsi menjadi kandidat untuk tingkat kabupaten? Apakah kemajuan kalau ada bupati menyediakan lagi dirinya jadi pejabat bupati? Mana yang lebih Anda sukai: camat mencalonkan diri jadi walikota? Atau putra gubernur menjadi bupati?
Contohnya, lihatlah, kalender pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, yang mulai semarak disambut masyarakat. Ada yang menyatakan dukungan kemudian mengajukan calon tertentu untuk maju jadi pemimpin mereka.
Mencermati satu demi satu nama yang tampil ke permukaan ternyata terdapat stereotipe sebagaimana terjadi di banyak kancah Pilkada di daerah lain di Indonesia, bahwa calon unggulan merupakan kader birokrasi. Belum muncul calon pemimpin yang berpengaruh, misalnya, berasal dari profesional, eksekutif swasta, politikus karir, kaum ulama, dan olahragawan.
Tampak waktunya masih akan lama lagi bagi warga negeri ini untuk mendapatkan figur seperti Arnold Schwarzenegger, binaragawan yang jadi Gubernur California. Atau Hun Sen, gerilawan yang kini duduk sebagai Perdana Menteri Kamboja. Atau Naguib Mahfouz, pengarang roman yang sempat ditunjuk jadi Menteri Kebudayaan Mesir. Atau Vaclav Havel, penulis naskah sandiwara, yang pernah memimpin Republik Ceko. Atau Mahmoud Ahmadinejad, bekas dosen yang menjabat Presiden Iran.
Semua fenomena itu adakah menjadi tanda-tanda fakir dan kemiskinan intelektual kita dalam menelusuri peta manajemen kepemimpinan di era pasca-Reformasi?
Ada undang-undang yang berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. Mungkin juga selama ada negara, selama itu pula ada anak-anak telantar dan fakir-miskin. Kalau negara sudah tidak ada, barangkali, mereka juga tak akan ada lagi. Maka, kalau tidak ada fakir miskin dan anak-anak telantar, lantas negara memelihara siapa?
Negara tidak bisa memelihara kaum intelektual. Sebab untuk jadi intelek, setiap orang harus menjalani proses pendidikan dengan membayar sejumlah uang sejak masuk sekolah. Saat orang-orang terdidik yang sudah jadi kaum intelektual berhasil masuk ke ruang-ruang yang tersedia di dalam negara atau disediakan negara atas nama lowongan pekerjaan, maka mereka tidak mungkin diharapkan bisa memperlakukan negara, dari segi aturan maupun fasilitasnya, secara baik dan penuh pengabdian.
Intelektual yang telah dikooptasi negara niscaya kehilangan independensinya dan terkikis idealismenya. Bahkan, mereka tidak akan mampu lagi melayani kepentingan ilmu pengetahuan, melainkan hanya mengutamakan kepentingan politik semata.
Aturan negara yang termaktub dalam UU No 20/2003, terutama pasal 11 ayat 2 dan pasal 49 ayat 1 menyatakan tentang dana pendidikan. Di sana tampak minimnya pengetahuan negara dari premis: minimal 20 persen APBD/APBN dialokasikan guna pembiayaan pada sektor pendidikan. Mengapa yang dirumuskan hanya minimalisasi bukan idealisasi? Mungkin, kesimpulannya, yang harus dicari adalah (x). (x) yakni bagaimana mengetahui berapa biaya ideal (bukan minimal) yang seharusnya diberikan negara kepada sektor pendidikan.
Pihak yang berkompeten terhadap kemajuan dunia pendidikan setidaknya harus menjawab dua pertanyaan mendasar. Pertama, berapa besar kebutuhan ilmu pengetahuan dari masyarakat di kota dan seluruh provinsi? Kedua, sejauh apa kepentingan negara atas kemajuan ilmu pengetahuan dalam masyarakatnya?
Jadi, jangan bertanya apa yang dapat diberikan sektor pendidikan kepada negara. Namun tanyakanlah, berapa banyak yang bisa diberikan negara kepada sektor pendidikan.
0 comments:
Post a Comment