Manusia membangun habitus secara perlahan. Dan kemudian habitus itu
membentuk nasibnya.
– Pandir Karya "Apakah habitus orang kaya yang paling umum?" tanya
saya kepada sejumlah kawan.
"Mereka super pelit," kata Iin.
"Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong," jawab Toni.
"Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat," kata
Herlina.
"Tidak suka berhutang," ujar Didi.
"Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya," jelas Diah.
"Mereka suka memamerkan kekayaannya, " kata Rudy.
"Cenderung serakah dan asosial," gagas Yuyun.
"Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal," ujar Lilik.
"Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan
mereka yang sebenarnya," papar Dewi.
"Suka bangun siang dan tidur dini hari," kata Indra.
membentuk nasibnya.
– Pandir Karya "Apakah habitus orang kaya yang paling umum?" tanya
saya kepada sejumlah kawan.
"Mereka super pelit," kata Iin.
"Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong," jawab Toni.
"Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat," kata
Herlina.
"Tidak suka berhutang," ujar Didi.
"Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya," jelas Diah.
"Mereka suka memamerkan kekayaannya, " kata Rudy.
"Cenderung serakah dan asosial," gagas Yuyun.
"Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal," ujar Lilik.
"Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan
mereka yang sebenarnya," papar Dewi.
"Suka bangun siang dan tidur dini hari," kata Indra.
"Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan, atau
penampilan diri, yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah
daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa,
memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi
suatu masyarakat… bersifat spontan, tidak disadari pelakunya apakah
itu terpuji atau tercela, seperti orang tak sadar akan bau mulutnya.
Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok sosial," demikian
antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember 2005).
Perhatikan bahwa habitus "...telah menjadi insting perilaku yang
mendarah daging", "bersifat spontan", "tidak disadari pelakunya", dan
bisa menunjuk kepada "kelompok sosial" tertentu. Nah, dengan
pemahaman ini, mari kita coba pikirkan, apa sajakah habitus kelompok
sosial ekonomi atas (baca: orang-orang kaya dan super kaya) yang
telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, bersifat
spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat reflek)?
Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku orang-orang kaya
di Amerika dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai perilaku
sejumlah kawan yang kaya di Indonesia, sekurang-kurangnya bisa
disebutkan beberapa habitus yang saling kait mengait satu sama lain
sebegai berikut.
Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting, mereka menikmati
hidup dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang sebenarnya.
Artinya, secara keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak oleh
mata lingkungannya. Mereka lebih kaya dari apa yang mungkin
dipikirkan orang lain di sekitar mereka (tetangganya) . Bila mereka
sesungguhnya mampu membeli rumah seharga Rp 10 miliar, maka mereka
senang memilih rumah seharga Rp 1 miliar. Jika mereka mampu membeli
mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang memilih mobil seharga Rp 600
juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu membeli barang-barang
yang dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan mewah macam
Sogo Departemen Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di pusat
belanja grosir seperti di ITC Mangga Dua.
Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih lebih
dari Rp 20 miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah
mengatakan kepada saya bahwa, "Saya menganut pandangan bahwa apapun
yang kita gunakan dan nampak oleh orang lain seharusnya tidak lebih
dari sepertiga kekuatan kita yang sesungguhnya. Dan kalau saya bisa
menggunakan sepertigapuluh atau bahkan sepertigaratus dari kemampuan
finansial saya untuk hidup nyaman, itu sudah cukup. Saya tidak suka
dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya lebih suka dikenal sebagai
orang yang berkarya". Pernyataan ini dengan tegas menunjukkan bahwa
ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya.
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya, maka
mereka—orang- orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya
konsumsi mereka jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh.
Itulah habitus kedua. Jika mereka memperoleh penghasilan rutin
(katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, maka mereka telah membiasakan
diri untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 juta per bulan untuk
memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika penghasilan mereka
meningkat menjadi Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak merasa
perlu untuk mengubah pola konsumsi mereka. Dalam hal ini yang
meningkat secara langsung adalah jumlah tabungan untuk investasi,
karena biaya konsumsi relatif tetap.
Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana untuk tabungan
dan investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi rutin
setiap bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk
konsumsi dan kalau akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan
diinvestasikan. Dengan kata lain, mereka terbiasa untuk mencurahkan
cukup banyak waktu untuk memikirkan soal kemana dan bagaimana uang
mereka ditabung dan diinvestasikan agar berkembang lebih maksimal.
Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk memikirkan cara-cara
menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja berlama-lama di
pusat-pusat pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak waktu
untuk memikirkan hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin
produktif, tumbuh dan berkembang, sehingga mereka menjadi mapan
secara keuangan.
Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan
mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti
Mochtar Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen
Siregar, saya merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas
telah terpatri menjadi bagian dari tarikan nafas orang-orang
tersebut. Tentu saja masih banyak lagi habitus orang-orang yang mapan
secara finansial itu. Namun tiga yang telah dipaparkan di atas adalah
habitus yang paling umum.
Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang lebih
suka menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri
untuk berbelanja lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang
menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan barang-barang konsumsi
(gonta ganti mobil baru tiap 1-2 tahun sekali, mengenakan pakaian-
pakaian bermerek yang dibeli secara kredit, makan minum di tempat-
tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah menjadi
orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya,
hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari
tenggelam di ufuk barat.
Kalau tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!
Sumber: Habitus Orang Kaya oleh Andrias Harefa, Pembelajar Mindset
Transformation, Certified Trainer and Therapist, Penulis 30 Buku Laris
0 comments:
Post a Comment